8 syarat Hijab Syar'i
Syarat-Syarat Hijab yang Syar’i
Dan di antara syarat-syarat hijab, sebagaimana yang disebutkan
oleh para ulama, bahwa hijab itu memiliki delapan persyaratan. Hijab seorang
wanita muslimah itu tidaklah menjadi hijab yang syar’iy, sempurna, sampai
memenuhi delapan syarat ini.
Syarat yang pertama, bahwa pakaian tersebut menutupi seluruh
tubuhnya. Berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
” Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan
mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan
kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka” (Q.S.24-31).
Demikian pula disebutkan dalam hadis Asma, dan yang semakna
dengannya adalah hadis Asma, dan juga terdapat pada hadis Ibnu Mas’ud
rodhiyallaahuta’aalaa ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lain,
bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam:
المرأة عورة فإذا خرجت اشتشرفها الشيطان
“Wanita itu adalah aurat. Maka apabila ia keluar,syaithon akan
membuatnya indah”.
Yaitu syaithon menjadikannya indah, dan membuat para lelaki
terfitnah dengannya, serta membuat wanita itu terfitnah oleh para lelaki.
Kemudian syarat yang kedua, bahwa pakaian itu sendiri bukanlah
sebuah perhiasan.Karena itu
bertentangan dengan makna hijab. Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi seorang
wanita untuk mengenakan hijab yang justru menimbulkan fitnah. Seperti kalau
hijab itu diberi pernak-pernik dan hiasan sebagaimana yang dilakukan oleh
sebagian wanita karena kejahilan mereka. Dan hal ini juga karena sikap
bermudah-mudahan –disayangkan sekali– dalam mengenakan sebagian jilbab yang
diberi hiasan. Jilbab yang diberi hiasan, dibordir dengan perak atau dengan
warna perak atau dengan warna emas dan sebagainya. Begitu juga dengan warna-warna.
Apabila pada hijab tersebut terdapat hiasan banyak warna maka yang demikian itu
mengandung makna hiasan. Dan kalian telah mendengar dalam ayat tadi, Allah
berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
“Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan
mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula kepada ayah-ayahnya dan
kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka” (Q.S.24-31).
Kemudian syarat yang ketiga dan keempat, hendaknya pakaian
tersebut tidak sempit dan tidak pula tipis. Tidak sempit sehingga membentuk lekukan tubuh
karenya. Dan tidak tipis sehingga menampakkan apa yang di balik pakaian
tersebut karenanya dan karena dia tembus pandang. Dua syarat ini ditunjukkan
oleh hadis Abu Hurairoh rodhiyallaahu’anhu di dalam Ash Shahih. Nabi
shollallaahu’alayhiwasallam telah mengabarkan:
صنفان من أهل النار لم أرهما
“Ada dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat”.
Dan beliau menyebutkan dari dua kelompok itu:
و نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة
لا يدخلون الجنة و لا يجدن ريحها و إن ريحها لتوجد من مسيرة كذا و كذا
“Para wanita yang berpakaian tapi mereka telanjang. Dan mereka
berjalan dengan melenggak-lenggok dan mereka berjalan dengan menimbulkan fitnah
dengan melenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang
miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan
sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan demikian”.
Ibnu Abdil Barr rohimahullaahuta’aalaa ketika beliau menjelaskan
hadis ini maka beliau mengatakan:
و لا تكون المرأة كاسية و عارية –أي في نفس الوقت– إلا أن يكون
كسائها ضيقا أو رقيقا
“Tidaklah wanita itu disifati dengan berpakaian dan telanjang
–yaitu pada saat bersamaan–, melainkan apabila pakaian yang dia kenakan itu
sempit atau tipis.”. Dan benarlah apa
yang beliau katakan, semoga Allah merahmati beliau.
Demikain pula disebutkan di dalam Ash Shohih dari hadis Usamah
rodhiyallaahu ta’aala ‘anhu bahwa Nabi shollallaahu ‘alayhi wa aalihi wasallam
pernah memberi Usamah hadiah berupa pakaian qibthiy. Kemudian setelah beberapa
waktu Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bertanya kepada Usamah tentang
pakaian tersebut.
Usamah berkata: “Aku telah menghadiahkan pakaian tersebut kepada
istriku wahai Rasulullah”.
Maka Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda:
“Perintahkan kepada istrimu hendaknya dia mengenakan di dalamnya “ghilaalah”.
Karena aku khawatir pakaian itu akan menampakkan tulang tubuhnya”.
Pakaian Qibthiy itu termasuk pakaian penduduk Mesir yang menyerupai
pakaian beludru. Kalian tahu beludru? Jenis kain yang jatuh di badan (mengikuti
lekuk badan). Maka ketika Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam mengetahui
bahwa Usamah memberikan pakaian itu kepada istrinya, beliau menyuruh Usamah
untuk menyuruh istrinya mengenakan “ghilaalah” dibalik pakaian qibthiy
tersebut. “Al ghilaalah” adalah pakaian kasar yang membuat pakaian halus tidak
jatuh di badan. Seperti sebagian pakaian untuk anak kecil perempuan, yang
dipakai di bagian dalamnya, jenis kain yang membuat pakaian mengembang. Kain
yang seperti ini disebut “ghilaalah”. Sehingga dengan kain ini, pakaian di
atasnya tidak menempel dengan badan. Dan ini menunjukkan bahwa makna ini memang
dikehendaki dalam hijab seorang wanita muslimah. Yaitu dia tidak mengenakan
pakaian yang sempit. Dan tidak mengenakan jenis kain yang jatuh di badan di
hadapan para pria non-mahrom. Kalau di hadapan suaminya tentu boleh. Adapun di
hadapan pria non-mahrom, maka tidak diperbolehkan.
Kemudian syarat yang kelima, hendaknya hijab tersebut tidak
diberi minyak wangi atau harum-haruman (bukhur). Disebutkan di dalam hadis Zaenab Ats
Tsaqofiyyah, dan makna hadis tersebut juga terdapat di dalam hadis Abu Hurairah
rodhiyallaahuta’aala ‘anhum, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhi wa aalihi
wasallam –tentang wanita ketika ia ingin melakukan sholat– hendaknya ia tidak
menggunakan wewangian. Dalam hadis Abu Hurairah, kalau wanita itu sengaja
melakukannya dan ingin supaya para pria mencium bau harumnya, maka wanita itu
adalah pezina.
أيما امرأة مست طيبا ليجد الرجال ريحها فهي زانية
“Siapa saja wanita yang memakai wewangian dengan tujuan agar
para pria mencium bau harumnya, maka dia adalah pezina”
Demikian Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda. Dan di
dalam hadis yang lain, yaitu di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah:
أيما امرأة أرادت العشاء فلا تمسن طيبأ
“Siapa saja wanita yang hendak menghadiri sholat Isya maka tidak
diperbolehkan baginya menyentuh wangi-wangian”.
Hadis ini menunjukkan faidah bahwa memakai wewangian bagi wanita
non-mahrom ketika hendak keluar rumah itu tidak boleh. Dan kalau dia memakainya
–dan ini adalah faidah kedua– dan kalau dia memakainya dengan tujuan agar para
lelaki mencium bau harumnya sehingga dengan begitu ia membuat mereka terfitnah
maka ia adalah wanita pezina. Karena ia telah melakukan sebab-sebab zina. Dan
disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas, bahwa Nabi shollallaahu’alayhi wa aalihi
wasallam mengatakan
كتب على ابن أدم حظه من الزنى يدرك ذلك لا محالة
“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bahagiannya dari zina.
Dia pasti mendapatkan itu dan tidak bisa menghindar darinya”.
Mata itu berzina dan zinanya adalah dengan melihat. Telinga itu
pun berzina dan zinanya adalah dengan mendengar. Lisan juga berzina dan zinanya
adalah dengan berbicara. Tangan pun berzina dan zinanya adalah dengan memegang.
Maka dengan ini engkau mengetahui bahwa zina itu tidak terbatas pada zina
kemaluan saja.
Demikian pula yang termasuk dalam syarat hijab adalah pakaian
tersebut tidak boleh menyerupai pakaiannya wanita-wanita kafir atau wanita-wanita
fajir (fasik). Tidak boleh bagi
wanita muslimah untuk mengenakan pakaian yang merupakan pakaian khas
wanita-wanita kafir atau fajir. Ini tidak boleh. Allah subhanahu wa ta’aala
berfirman di dalam Al Quran Al Karim:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di antara kalian yang berloyal kepada mereka maka
sesungguhnya orang itu termasuk dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS.5:51).
Dan termasuk di antara sikap berloyal kepada orang kafir sebagai
pemimpin adalah sikap menyerupai mereka.
Allah subhanahu wa ta’aala juga berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ
النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu di sentuh oleh api neraka..” (Q.S.11:113)
Dan termasuk di antara sikap cenderung kepada orang-orang yang
zholim adalah sikap menyerupai mereka. Dan di dalam hadis Nabi
shollallaahu’alayhi wa ‘ala aalihi wasallam, di mana beliau bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari
kalangan mereka”(diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan yang lainnya dari hadis Abdullah bin Umar rodhiyallaahu ta’aalaa
‘anhuma dengan sanad yang shahih).
Demikian juga yang termasuk syarat-syarat hijab adalah hendaknya
pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian laki-laki. Maka tidak boleh bagi seorang wanita
untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Sebagaimana juga
tidak boleh bagi laki-laki untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian
perempuan. Dan makna ini disebutkan di dalam hadis Ibnu Abbas, hadis Abu
Hurairah, dan hadis Aisyah, di mana Rasulullah shollallaahu’alayhi wa’alaa
aalihi wasallam telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki. Dan
beliau juga telah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki, demikian juga
laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Dan Rasulullah
shollallaahu’alayhiwasallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita. Maka
hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita untuk
mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki meskipun pakaian tersebut
menutupi tubuhnya. Seperti kalau di sana ada jenis pakaian yang khusus
dikenakan oleh lelaki, kemudian ada seorang wanita yang hendak berhijab
denganya, yang demikian tidak diperbolehkan karena pakaian tersebut khas untuk
lak-laki.
Kemudian syarat yang terakhir, di antara syarat-syarat hijab
seorang muslimah, hendaknya pakaian tersebut bukan termasuk pakaian
syuhroh. Bukan termasuk pakaian
kemasyhuran. Dan yang dimaksud dengan pakaian kemasyhuran adalah pakaian yang
mendorong seseorang untuk terfitnah. Yang menyebabkan seseorang itu terfitnah,
bagi yang memakainya. Di mana pakaian tersebut menarik perhatian orang.
Sehingga bisa jadi wanita yang memakai pakaian kemasyhuran tersebut mendapatkan
gangguan, atau menyebabkan dia terfitnah dari berbagai aspek dengan sebab
memakai pakaian kemasyhuran tersebut. Yaitu pakaian tersebut memiliki perbedaan
yang terlalu mencolok sehingga bisa menimbulkan fitnah.
Peringatan!
Dan yang terakhir ini, saya ingin memberikan peringatan
tentangnya karena sebahagian ikhwah dan akhwat, mereka diuji dengan masyarakat
yang tidak terbiasa dengan hijab, khususnya yang berwarna hitam. Sehingga
kemudian dia menjauhi hijab berwarna hitam dengan beralih kepada hijab yang
berwarna dikarenakan khawatir mungkin hal itu akan menimbulkan konflik dengan
masyarakat. Maka di sini kita mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’aala lebih
menyayangi kita daripada diri kita sendiri. Dan para ahlul ilmi telah berbicara
tentang permasalahan-permasalahan seperti ini.
Adapun apabila di sana memang ada fitnah yang betul-betul
terjadi, sehingga seorang wanita sama sekali tidak mungkin mengenakan hijab, di
sini berarti memang syiar-syiar Allah tidak ditegakkan. Maka ketika itu yang
harus dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah untuk berhijrah dari negeri
itu ke negeri lain yang di situ ditegakkan syiar-syiar Allah. Dan kalau mungkin
hijab itu dikenakan, hanya saja perbuatan mengenakan hijab ini dengan sifat
tertentu yang tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di dalamnya
terdapat pengabaian terhadap sebagian hal yang lebih sempurna dan lebih utama,
maka dikatakan bahwa kalau memang ini benar, dan merupakan kenyataan yang
betul-betul terjadi bukan cuma khayalan, maka meminimalisasi keburukan itu
merupakan suatu tuntunan yang syar’iy. Dan mengerjakan perbuatan yang lebih
ringan mudhorotnya untuk mencegah mudhorot yang lebih besar adalah dibolehkan
dalam syari’at. Dan Allah lebih mengetahui orang yang jujur dan orang yang
berdusta. Karena sebagian orang kadang-kadang mengklaim bahwa dia khawatir
mendapatkan mudhorot yang besar. Padahal sesungguhnya klaim itu hanya khayalan
saja. Dan pada kenyataannya,persangkaannya itu tidak sungguh-sungguh ada. Maka
tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil keringanan yang tidak disertai
dengan izin untuk keringanan tersebut. Akan tetapi kalau mafsadat itu
benar-benar ada, maka di sini tidak diragukan lagi bahwa mengambil mafsadat
yang lebih ringan untuk menghindari mafsadat yang lebih besar itu diizinkan di
dalam syari’at. Dan bersamaan dengan itu dikatakan untuk orang seperti ini:
pindahlah ke tempat lain, ke saudara-saudaramu yang muslim yang dengan bersama
mereka engkau bisa menyembah Rabbmu sesuai dengan apa yang Ia cintai dan Ia
ridhoi.
Maka dengan ini menjadi jelaslah jawaban atas pertanyaan
tersebut dengan berbagai sisi dan keadaannya. Wallaahu ta’alaa a’lam.
(Sumber: Majalah AKHWAT Shalihah Edisi Perdana 1431H/2010M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar